Jumat, 23 Maret 2012


BATUAN METAMORF

Batuan metamorfosa juga disebut sebagai batuan malihan, demikian pula dengan prosesnya. Proses metamorfisme atau malihan merupakan perubahan himpunan mineral dan tekstur batuan, namun dibedakan dengan proses diagenesa (bab 5) dan proses pelapukan yang juga merupakan proses perubahan. Proses metamorfosa berlangsung akibat perubahan suhu dan tekanan yang tinggi, di atas 2000 C dan 300 Mpa, dan dalam keadaan padat. Sedangkan proses diagenesa berlangsung pada suhu di bawah 2000 C dan proses pelapukan pada suhu dan tekanan jauh di bawahnya, dalam lingkungan atmasfir (bab 10). Proses metamorfosa dapat didefinisikan sebagai berikut: Perubahan himpunan mineral dan tekstur batuan dalam keadaan (fasa) padat (solid state) pada suhu di atas 2000 C dan tekanan 300 MPa.
Pembentukan batuan metamorf sangat kompleks, akibat bergeraknya lempeng-lempeng tektonik dan tumbukan fragmen-fragmen kerak (Bab 14), batuan terkoyak, tertarik (extended), terlipat. terpanaskan dan berubah. Oleh karena perubahannya dalam keadaan padat, umumnya jejak-jejak bentuk awalnya masih dapat dikenali, meskipun telah mengalami perubahan lebih dari sekali. Batuan metamorf paling menarik di antara batuan lainnya, karena di dalamnya tersimpan cerita semua yang telah terjadi pada kerak bumi. Saat lempeng tektonik bertumbukan terbentuklah batuan metamorf tertentu sepanjang batas 1empeng. Dengan mempela1arinYa. dapat diketahui di mana batas benua sebelumnya, serta telah berapa lama tektonik berlangsung.

6.1.    Batas Metamorfisme
Sudah dibahas sebelumnya bahwa metamorfisme tidak sama dengan diagenesa atau pelapukan, karena keduanya pada kondisi di bawah ¬metamorfisme. Namun bagaimana dengan batas atasnya, sebab pada suhu tinggi tertentu batuan akan meleleh, sedangkan metamorfisme berlang¬sung dalam keadaan padat. Tidak berubah melalui lelehan seperti halnya batuan beku.
Meskipun sedikit, umumnya dalam batuan di kerak bumi mengandung H2O, dalam pori-pori atau film tipis sekitar butiran. Batas atas metamorfisme pada kerak ditentukan oleh batas lelehan parsia1 basah (onset of wet partial melting), seperti tertera da1am Gb. 6.1. H2O yang ada mengontrol suhu dimana lelehan parsial basah mulai dan berapa banyak magma terbentuk dari batuan metamorf. Batas atas metamorfisme adalah kisaran suhu yang bergantung pada banyaknya H2O yang ada. Gb. 7. 1 memperlihatkan bahwa batas atas metamorfisme tumpang tindih dengan daerah suhu dan tekanan dimana magmatisme mulai. Bila terdapat sejumlah kecil H2O maka lelehan yang terjadi pun sedikit dan tetap terperangkap sebagai kantong (pocket) dalam batuan metamorf.


Sekelompok batuan gabungan, sedikit komponen batuan beku akibat lelehan dan batuan metamorf dinamakan magmatik. Bila terjadi sejumlah besar magma karena lelehan parsial basah, akan naik dan menerobos batuan metamorf di atasnya. Magma yang naik akan membeku sebagai batuan intrusi, umumnya membentuk batolit granit, berasosiasi dengan batuan metamorf. Asosiasi batuan ini terbentuk pada sepanjang jalur penunjaman atau tumbukan lempeng.

6.2.    Pengontrol Metamorfisme
Proses ini dapat dibayangkan sebagai orang memasak. Hasil masakannya sesuai dengan bahan yang dimasak dan cara memasaknya. Demikian pula dengan batuan, hasilnya tergantung dari komposisi batuan asal dan kondisi metamorfosis. Komposisi kimia batuan asal sangat mempengaruhi pembentukan himpunan mineral baru, demikian pula dengan suhu dan tekanan. Suhu dan tekanan tidaklah berperan-langsung, akan tetapi juga ada-tidaknya cairan serta lamanya mengalami panas dan tekanan yang tinggi, dan bagaimana tekanannya, searah, terpuntir dsb.

6.2.1.    Pengaruh Cairan terhadap Reaksi Kimia
Pori-pori pada batuan sedimen atau batuan beku terisi oleh cairan, yang merupakan larutan dari gas-gas, garam dan mineral yang terdapat pada batuan yang bersangkutan. Pada suhu tinggi cairan intergranular ini lebih bersifat uap dari pada cair, yang mempunyai peran penting dalam metamorfis¬me. Di bawah suhu dan tekanan yang tinggi terjadi pertukaran unsur dari larutan ke mineral-mineral dan sebaliknya. Fungsi cairan ini merupakan media transport dari larutan ke mineral dan sebaliknya, sehingga mempercepat metamorfisme. Dan jika tidak ada larutan atau sedikit sekali, maka metamorfisme berlangsung lambat, karena perpindahannya melalui difusi antar mineral yang padat.

6.2.2.    Suhu dan Tekanan
Batuan apabila dipanaskan akan membentuk mineral-mineral baru, yang hasil akhirnya adalah batuan metamorf. Sumber panasnya berasal dari panas dalam bumi. Batuan dapat terpanaskan oleh timbunan (burial) atau oleh terobosan batuan beku. Tetapi timbunan atau terobosan dapat menimbulkan perubaban tekanan sehingga sukar dikatakan bahwa metamorfisme hanya disebabkan oleh kenaikan suhu saja.
Tekanan dalam proses metamorfisme bersifat sebagai stress, mempunyai besaran serta arah. Tekstur batuan metamorf memperlihatkan bahwa batuan ini terbentuk dibawah differential stress, atau tidak sama besar dari segala arah. Berbeda dengan batuan beku yang terbentuk melalui lelehan dan dibawah pengaruh uniform stress, atau mempunyai besaran yang sama dari semua arah. Oleh karena itu batuan beku memperlihatkan orientsi mineral yang tidak beraturan.


Gambar 6.2    memperlihatkan perbedaan tekstur yang diakibatkan oleh perbedaan stress. Letak mineral biotit dalam granit tidak beraturan (A), sedangkan dalam batuan metamorf memperlihatkan kesejajaran yang tegak lurus arah stress terbesar.

6.2.3.    Waktu
Untuk mengetahui berapa lama berlangsungnya metamorfisme tidak mudah dan sampai saat ini masih belum diketahui bagaimana caranya. Dalam percobaan di laboratorium memperlihatkan bahwa di bawah tekanan dan suhu tinggi serta waktu reaksi yang lama menghasilkan kristal yang besar. Dan dalam kondisi sebaliknya, dihasilkan kristal yang kecil. Dengan demikian untuk sementara ini disimpulkan bahwa batuan berbutir kasar merupakan hasil metamorfisme dalam waktu yang panjang serta suhu dan tekanan tinggi. Sebaliknya yang berbutir halus, waktunya pendek serta suhu dan tekanan rendah.

6.2.4.    Pengaruh Perubahan Suhu dan Tekanan terhadap Metamorfisme
1.    Tekstur
Pada umumnya metamorfisme berlangsung di bawah differential stress dan hasilnya adalah tekstur yang sejajar. Apabila prosesnya terus berlangsung, mineral-mineral pipih misalnya mika dan khlorit mulai berkembang dan tumbuh berorientasi, yang lembaran-lembarannya berarah tegak lurus stress maksimum. Lembaran-lembaran mika baru yang sejajar ini membentuk tekstur planar yang disebut foliasi (foliation), berasal kata folium (bahasa Latin) yang berarti daun. Batuan yang berfoliasi cenderung mudah pecah sebagai lembar-lembar.
2.    Slaty Cleavage


Pada tahap awal metamorfisme derajat rendah, stress cenderung disebabkan oleh lapisan batuan di atasnya. Mineral-mineral baru yang bertekstur berlembar, foliasi, cenderung sejajar dengan bidang-bidang perlapisan dari batuan sedimen yang termetamorf. Pada penimbunan lebih dalam atau adanya kompresi dari tumbukan lempeng terjadi deformasi, lembaran-lembaran mineral yang semula datar terlipat, minenal pipih dan foliasi tidak lagi sejajar dengan bidang perlapisan (Gambar 7-3). Batuan metamorf derajat rendah umumnya mempunyai besar butir sangat halus, sehingga mineral-mineral pipihnya hanya dapat dilihat di bawah mikroskop. Dan foliasinya disebut slaty cleavage, yang dapat diartikan belahan-belahan tipis. Batuan metamorf derajat rendah cenderung untuk pecah-pecah menurut belahan-belahan ini.
3.    Schistositas
Pada metamorfisme derajat menengah dan derajat tinggi, besar butir mineral-mineralnya berkembang sehingga batuannya dapat dilihat tanpa alat. Foliasi batuan metamorf berbutir kasar disebut schistositas (schistosity) yang terbentuk akibat kesejajaran butir¬an mineral-mineral besar serta pipih dan tidak perlu planar. Dibedakan dengan slaty cleavage terutama dari besar butirannya. Batuan yang bertekstur schistose cenderung akan membelah menurut bidang yang bergelombang¬.
4.    Himpunan mineral
Metamorfisme menghasilkan himpunan mineral baru sebagaimana dengan tekstur. Dengan meningkatnya suhu dan tekanan tumbuhlah satu himpunan dan disusul yang lainnya. Suatu himpunan mineral merupakan karakteristik pada kisaran suhu dan tekanan tertentu. Beberapa mineral tidak dijumpai pada batuan beku atau sedimen, hanya terjadi atas pengaruh metamorfisme, diantaranya mineral¬ chlorite, serpentine, epidotic, talc dan tiga polymorf Al2SiO5, cyanic, silimanit, dan andalusit.

6.3.    Jenis Batuan Metamorf
Penamaan batuan metamorf dapat didasarkan pada tekstur dan juga himpunan mineralnya. Yang sering dan umum dipergunakan berdasarkan batuan asal¬nya dan yang umum dijuampai, lanau (shale), batupasir dan batugamping untuk batuan sedimen dan basalt untuk batuan beku.

6.3.1.    Dari Lanau dan Mudstone
1.    Serpih (slate)
Baik lanau maupun mudstone umumnya terdiri atas mineral kuarsa, berbagai mineral lempung, kalsit dan mungkin juga feldspar. Metamorfisme derajat rendah menjadikannya serpih atau slate. Pada kondisi ini muscovite dan chlorite mengkristal. Meskipun kenampakannya masih seperti lanau atau mudstone, tetapi mineral-mineral baru yang tumbuh pipih bentuknya, membuat batuan bertekstur slaty ¬cleavage. Adanya tekstur ini membuktikan bahwa batuan asalnya telah termetamorfosa.
2.    Filit (phyllite)
Peningkatan metamorfosa pada serpih ke derajat menengah, menghasilkan mineral mika berbutir lebih besar dan perubahan himpunan mineral serta membentuk foliasi. Batuannya disebut filit, berasal dari kata phyllon yang berarti daun.
Pada serpih butir mika yang tumbuh tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, tetapi pada filit cukup besar sehingga dapat dilihat.¬
3.    Sekis (schist) dan Gneiss
Apabila metamorfisme berlangsung terus maka terbentuklah batuan berbutir kasar yang dinamakan sekis. Serpih, filit dan sekis dapat dibedakan dari besar butirnya, namun besar butir bukanlah satu-satunya faktor pembeda. Ciri metamorfisme derajat tinggi pada sekis, mineral-mineral mulai segregasi (pengelompokan semacam mineral diantara yang lainnya) dan membentuk lajur-lajur. Batuan metamorf derajat tinggi berbutir kasar dan berfoliasi tetapi disertai lapisan-lapisan segregasi mineral-¬mineral, seperti kuarsa dan felspar, dan dinamakan gneiss. Oleh karena besar butirannya dapat dilihat maka kelompok batuan ini diberi nama dengan diawali nama mineral-mineral utamanya, misalnya kuarsa-plagioklas-biotit-garnet gneiss. Tidak demi¬kian halnya dengan sekis dan filit, berhubung mineralnya berbutir halus.

6.3.2.    Dari Basalt
1.    Sekis hijau (green schist)
Mineral utama dalam basalt adalah olivine, plagioklas dan piroksin. Kesemuanya bersifat anhidrous. Bila basalt mengalami metamorfisme dimana H2O dapat masuk dalam batuan, maka terbentuklah himpunan mineral-mineral yang hidrous. Pada derajat rendah, terbentuklah himpunan mineral seperti khlorit, plagioklas, epidotic dan kalsit. Kenampakannya seperti serpih (slate), akan tetapi berfoliasi seperti filit dan mempunyai warna yang khas (hijau), karena mengandung khlorit dan dinamakan skis hijau.
2.    Amfibolit dan granit (amphibolites and granite)
Apabila sekis hijau sampai pada metamorfosa derajat menengah, khlorit digantikan oleh amfibol dan umumnya berbutir kasar dan disebut amfibolit. Pada amfibolit terdapat juga foliasi, tetapi diabaikan karena pada umumnya tidak ada mineral-mineral mika dan khlorit Pada derajat lebih tinggi, amfibol digantikan piroksin, dan batuannya berfoliasi, dinamakan granulit.


6.4.    Klasifikasi Metamorfisme
Berdasarkan kenampakan hasil metamorfisme pada batuan, prosesnya dapat dikelompokkan menjadi deformasi mekanik (mechanical deformation) dan rekristalisasi kimia (chemical recrystalisation). Deformasi mekanik menghancurkan, menggerus dan membentuk foliasi. Rekristalisasi kimia merupakan proses perubahan komposisi mineral serta pembentukan mineral-mineral baru, dimana H2O dan CO2 terlepas akibat kenaikan suhu.

6.4.1.    Metamorfisme Kataktastik (Cataclastic Metamorphism)
Kadang-kadang deformasi mekanik pada meta¬morfisme dapat berlangsung tanpa disertai rekristalisasi kimia. Meskipun hal ini jarang terjadi namun apabila terjadi, sifatnya hanya setempat¬-setempat saja. Misalnya batuan berbutir kasar, granit, jika mengalami deferential stress yang kuat, butiran mineralnya hancur dan juga menjadi halus. Deformasi ini terjadi pada batuan yang bersifat regas (brittle) dan dinamakan metamorfisme kataktastik. Apabila metamorfisme berlanjut maka butiran dan fragmen batuan akan menjadi lonjong (elongated).

6.4.2.    Metamorfisme Kontak (Contact metamorphism)
Metamorfisme kontak terjadi akibat intrusi tubuh magma panas pada batuan yang dingin dalam kerak bumi. Akibat kenaikan suhu, maka rekristalisasi kimia memegang peran utama. Sedangkan deformasi mekanik sangat kecil, bahkan tidak ada, karena stress di sekitar magma relatif homogen. Batuan yang terkena intrusi mengalami pemanasan dan termetamorfosa, membentuk satu lapisan di sekitar terobosan yang dinamakan aureole metamorphic, batuan ubahan. Tebal lapisan batuan ubahan pada metamorfisme kontak tergantung pada besarnya tubuh intrusi dan kandungan H2O di dalam batuan yang diterobos. Misalnya pada korok atau sill lapisannya hanya beberapa meter, tetapi tanpa H2O hanya beberapa centimeter lebarnya. Batuan metamorf kontak yang terjadi, keras terdiri dari mineral berbutir seragam dan halus yang saling mengunci (interlocking), dinamakan Hornfels.
Pada terobosan besar, bergaris. tengah sampai ribuan meter mempunyai energi panas jauh lebih besar dari pada terobosan kecil, dan dapat mengandung banyak uap H2O. Aureole yang terbentuk dapat sampai ratusan meter lebarnya dan berbutir kasar. Di dalam aureole metamorf lebar ini yang telah dilalui cairan, terjadi zonasi himpunan mineral yang konsentris. Zona himpunan mineral ini mencirikan kisaran suhu tertentu. Dekat dengan terobosan, dimana suhu sangat tinggi, dijumpai mineral-mineral anhidrous, garnet dan piroksin. Kemudian dijumpai mineral-mineral hidrous seperti amfibol dan epidot Selanjutnya mineral-mineral mika dan khlorit (Gambar 6.4). Zonasi himpunan-himpunan mineral tersebut tentunya tergantung pada komposisi kimia batuan yang diterobos, cairan yang melaluinya serta suhu dan tekanan.

6.4.3.    Metamorfisme Timbunan (Burial  metamorphism)
Sedimen bersama perselingan piroklastik yang tertimbun sangat dalam di cekungan dapat mencapai suhu 3000 atau lebih. Adanya H2O yang terperangkap dalam porin-porin sedimen mempecepat proses rekristalisasi kimia dan membantu pembentukan mineral-mineral baru. Oleh karena sedimen yang mengandung air lebih bersifat cair dari pada padat, maka tegasan (stress) yang bekerja lebih bersifat homogen, bukan deferensial. Akibatnya pada, metamorfisme timbunan pengaruh deformasi mekanik kecil sekali sehingga teksturnya mirip dengan batuan asalnya, meskipun himpunan mineralnya sama sekali berbeda.
Ciri khas untuk metamorfisme ini adalah kelompok mineral zeolit, yang merupakan kelompok mineral berstruktur kristal polymer silikat. Komposisi kimianya sama dengan kelompok feldspar, yang juga mengandung H2O. Metamorfisme timbunan merupakan tahap pertama setelah digenesis, terjadi pada cekungan sedimen yang dalam, seperti palung-palung pada batas lempeng. Apabila suhu dan tekanan naik, maka metamorfisme timbunan meningkat menjadi metamorfisme regional.


6.4.4.    Metamorfisme Regional
Batuan metamorf yang umum dijumpai pada kerak benua dengan penyebaran yang sangat luas, sampai puluhan ribu kilometer persegi, dibentuk oleh proses metamorfisme regional. Pada metamorfisme ini melibatkan juga deformasi mekanik selain rekristalisasi kimia. Oleh karena itu batuannya memperlihatkan foliasi.
Batuan metamorf regional pada umumnya dijumpai pada deretan pegunungan atau yang sudah tererosi, berupa slate, filit, sekis dan gneiss. Deretan pegunungan dengan batuan metamorf regional terbentuk akibat subduksi atau tumbukan (collision) kerak benua. Pada saat tumbukan benua, batuan sedimen sepanjang batas lempeng mengalami deferensial stress yang intensif. Dan mengakibatkan foliasi yang khas pada slate, sekis, dan gneiss.
Sekis hijau dan amfibolit juga merupakan hasil metamorfisme regional, umumnya dijumpai dimana segmen kerak samudra purba yang berkomposisi basaltis bersatu dengan kerak benua dan kemudian termetamorfosa.


Gambar 7.5 menjelaskan bagaimana terjadinya metamorfisme regional. Saat satu segmen kerak mengalami stress kompresi horizontal, batuan dalam kerak terlipat dan melengkung (buckling). Akibatnya kerak akan menebal pada satu tempat, seperti diperlihatkan pada gambar 6.5. Dasar kerak yang menebal akan terdorong lebih ke dalam selubung. Akibatnya bagian dasar kerak tersebut mengalami peningkatan suhu dan tekanan, dan mineral-mineral baru mulai tumbuh. Aliran panas dari dasar ke atas sangat lambat karena batuan bukan penghantar panas yang baik. Pencapaian panas sangat bergantung pada kedalaman dan waktu batuan terbenam dalam timbunan yang menebal. Bila perlipatan dan penebalan berlangsung sangat lambat, pemanasan timbunan berangsur setelah bagian batas kerak dan mantel. Sedangkan jika penimbunan berlangsung sangat cepat, seperti halnya pada daerah subduksi, sedimen tertarik ke bawah, timbunan sedimen tidak sempat mengalami pemanasan, sehingga peran tekanan lebih besar dibandingkan dengan suhu. Berdasarkan kecepatan penimbunan, dari batuan yang sama, dapat terjadi dua batuan metamorf yang berbeda, karena perbedaan suhu dan tekanan yang mempengaruhinya.

6.4.5.    Zona Metamorfisme
Derajat metamorfisme dicirikan oleh himpunan mineral baru yang tumbuh pada kondisi tertentu (derajat rendah, menengah dan tinggi). Mineral-¬mineral tersebut dinamakan mineral indeks, umumnya adalah khlorit, biotit, garnet, staurolit, ¬kyanit, dan silimanit
Garis yang menghubungkan lokasi-lokasi di awal pemunculan mineral indeks dinamakan garis ¬isograde. Dan daerah di antara garis isograde dinamakan zona metamorfisme, misalnya zona¬ biotit dan sebagainya.

6.5.    Fasies Metamorfisme


Hasil pengamatan batuan metamorf di berbagai tempat di bumi memperlihatkan bahwa komposisi kimia batuan metamorf hanya sedikit terubah oleh proses metamorfisme. Perubahan utama yang terjadi adalah bertambah atau berkurangnya volatile, H2O dan CO2, tetapi bahan utamanya, SiO2, Al2O3 dan CaO tidak berubah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa himpunan mineral batuan metamorf dari batuan sedimen atau batuan beku ditentukan oleh suhu dan tekanan saat metamorfisme berlangsung. Berdasarkan kesimpulan ini, Pennti Eskola dari Finlandia (1915), mengusulkan konsep fasies metamorfisme, yang intinya menyatakan bahwa dan komposisi batuan tertentu, himpunan mineral yang mencapai keseimbangan selama metamorfisme di bawah kisaran kondisi fisik tertentu, termasuk dalam fasies metamorfisme yang sama.
Prinsip fasies metamorfisme, bersamaan dengan gradient geothermal dan kondisi geologi diperlihatkan dalam gambar 6.6.

6.6.    Metasomatisme
Proses metamorfisme berkaitan dengan komposisi tetap dan sejumlah cairan yang relatif sedikit. Sedikitnya cairan disebabkan volume pori-pori batuan yang termetamorf kecil, dan pelepasan H2O dan CO2 dan mineral-mineral yang termetamorf berlangsung lambat dibandingkan keluar dengan segera. Oleh karena itu hanya cukup untuk proses metamorf, dan tidak cukup untuk melarutkan dan mengubah komposisi batuan.
Pada kondisi tertentu perbandingan air dan batuan dapat besar, 10 : 1 bahkan sampai 100 : 1, misalnya mengalirnya cairan yang banyak melalui rekahan terbuka pada batuan. Batuannya dapat terubah (altered) secara drastis oleh penambahan ion-ion baru, melarutkan batuan atau kedua-duanya.
Proses dimana komposisi kimia batuan terubah oleh penambahan atau pelepasan (removal) ion-ion dinamakan metasomatisme (meta berarti berubah dan soma, dari bahasa Latin yang berarti juice). Biasanya metasomatisme berasosiasi dengan metamorfosa kontak, terutama dengan batugamping (Gambar 7.4). Cairan metasomatisme yang dilepaskan magma yang mendingin, menembus batuan yang termetamorf. Karena boleh jadi cairannya membawa bahan-bahan seperti silikat, besi, dan magnesium dalam larutan, komposisi batugamping yang dekat dengan magma yang mendingin dapat terubah dengan drastis, dan yang di luar jangkauan cairan tidak terubah. Tanpa adanya penambahan material, batugamping menjadi marmer, tetapi akibat metasomatisme berubah menjadi himpunan garnet, piroksin hijau, dinamakan diopsit dan kalsit.

6.7.    Larutan Hidrotermal dan Cebakan Mineral
Cairan yang menyebabkan metasomatisme kaya akan H2O dan bersuhu 25000C atau lebih dan dinamakan larutan hidrotermal (dari bahasa Yunani, hydro = air dan thermal = panas). Larutan hidrotermal membentuk urat-urat (vein's) dengan mengendapkan bahan yang terlarut seperti kuarsa atau kalsit dalam rekahan-rekahan yang dialirinya. Selain itu dapat juga menghasilkan ubahan pada batuan yang dialirinya. Larutan hidrotermal mempunyai peranan penting dalam pembentukan cebakan mineral berharga dengan membentuk urat-urat dan alterasi batuan. Cebakan mineral berharga hasil larutan hidrotermal lebih banyak dijumpai dari pada tipe lainnya.
Komposisi utama larutan hidrotermal adalah air. Dalam airnya selalu mengandung garam-garam, sodium khlorida, potasium khlorida, kalsium sulfat, dan kalsium khlorida. Kadar garam terlarut bervariasi, berkisar dari salinitas air laut, 3,5 persen berat sampai puluhan kalinya. Larutan yang sangat “asin” (brine) dapat melarutkan sedikit mineral¬-mineral yang tampaknya tidak larut, seperti emas, khalkopirit, galena dan sfalerit.
Larutan hidroterma1 terjadi dalam beberapa cara, salah satunya adalah saat magma yang terjadi oleh peleburan parsial basah yang mendingin dan mengkristal, air yang menyebabkan peleburan parsial basah dilepaskan. Namun tidak sebagai air murni, tapi mengandung semua unsur yang dapat larut dalam magma, seperti  NaCl, dan unsur-unsur kimia, emas, perak, tembaga, timbal, seng, merkuri dan molybdenum, yang tidak terikat kuarsa, feldspar, dan mineral lain dengan substitusi ion.
Suhu yang tinggi meningkatkan efektivitas larutan sangat asin ini untuk membentuk endapan mineral hidrotermal.
Volkanisme dan panas merupakan satu kesatuan. Oleh karena itu wajar bila banyak endapan mineral berasosiasi dengan batuan volkanik panas yang dimasuki air yang bersirkulasi di kedalaman, yang berasal dari air hujan atan air lauL Banyak sekali endapan mineral dijumpai pada bagian atas tumpukan volkanik, yang diendapkan saat larutan hidrotermal yang bergerak naik, mendingin dan mengendapkan mineral bijih.

6.8.    Tektonik Lempeng, Metamorfisme, Metasomatisme
Metamorfisme regional terjadi pada batas subduksi lempeng, seperti terlihat pada Gambar 6.7. Metamorfisme timbunan (burial metamorphism) terjadi pada bagian bawah tumpukan tebal sedimen yang terakumulasi pada paparan benua (continental shelf) dan lereng benua (continental slope).
Suhu dan tekanan karakteristik untuk fasies metamorfosis sekis biru dan eklogit tercapai saat batuan kerak tertarik ke bawah dengan cepat oleh lempeng yang menunjam. Pada kondisi demikian tekanan naik lebih cepat dibandingkan dengan suhu dan hasilnya adalah batuan metamorf tekanan tinggi - suhu rendah, fasies metamorf sekis biru dan eklogit. Kondisi karakteristik fasies metamorf sekis hijau dan amfibolit terdapat dimana kerak menebal akibat tumbukan benua atau pemanasan oleh magma yang naik. Tumbukan benua umumnya merupakan penyebab metamorfisme regional dan aktivitas magma¬.



Magma yang menghasilkan gunungapi strato terjadi oleh peleburan parsial basah kerak samudra yang menunjam. Magma juga merupakan sumber panas untuk larutan hidrotermal yang menghasilkan endapan bijih. Adanya sumber daya mineral di bumi adalah berkat kombinasi proses-proses magmatik, metamorfisme, dan metasomatik, yang semuanya terjadi akibat tektonik lempeng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar