Jumat, 23 Maret 2012


BATUAN METAMORF

Batuan metamorfosa juga disebut sebagai batuan malihan, demikian pula dengan prosesnya. Proses metamorfisme atau malihan merupakan perubahan himpunan mineral dan tekstur batuan, namun dibedakan dengan proses diagenesa (bab 5) dan proses pelapukan yang juga merupakan proses perubahan. Proses metamorfosa berlangsung akibat perubahan suhu dan tekanan yang tinggi, di atas 2000 C dan 300 Mpa, dan dalam keadaan padat. Sedangkan proses diagenesa berlangsung pada suhu di bawah 2000 C dan proses pelapukan pada suhu dan tekanan jauh di bawahnya, dalam lingkungan atmasfir (bab 10). Proses metamorfosa dapat didefinisikan sebagai berikut: Perubahan himpunan mineral dan tekstur batuan dalam keadaan (fasa) padat (solid state) pada suhu di atas 2000 C dan tekanan 300 MPa.
Pembentukan batuan metamorf sangat kompleks, akibat bergeraknya lempeng-lempeng tektonik dan tumbukan fragmen-fragmen kerak (Bab 14), batuan terkoyak, tertarik (extended), terlipat. terpanaskan dan berubah. Oleh karena perubahannya dalam keadaan padat, umumnya jejak-jejak bentuk awalnya masih dapat dikenali, meskipun telah mengalami perubahan lebih dari sekali. Batuan metamorf paling menarik di antara batuan lainnya, karena di dalamnya tersimpan cerita semua yang telah terjadi pada kerak bumi. Saat lempeng tektonik bertumbukan terbentuklah batuan metamorf tertentu sepanjang batas 1empeng. Dengan mempela1arinYa. dapat diketahui di mana batas benua sebelumnya, serta telah berapa lama tektonik berlangsung.

6.1.    Batas Metamorfisme
Sudah dibahas sebelumnya bahwa metamorfisme tidak sama dengan diagenesa atau pelapukan, karena keduanya pada kondisi di bawah ¬metamorfisme. Namun bagaimana dengan batas atasnya, sebab pada suhu tinggi tertentu batuan akan meleleh, sedangkan metamorfisme berlang¬sung dalam keadaan padat. Tidak berubah melalui lelehan seperti halnya batuan beku.
Meskipun sedikit, umumnya dalam batuan di kerak bumi mengandung H2O, dalam pori-pori atau film tipis sekitar butiran. Batas atas metamorfisme pada kerak ditentukan oleh batas lelehan parsia1 basah (onset of wet partial melting), seperti tertera da1am Gb. 6.1. H2O yang ada mengontrol suhu dimana lelehan parsial basah mulai dan berapa banyak magma terbentuk dari batuan metamorf. Batas atas metamorfisme adalah kisaran suhu yang bergantung pada banyaknya H2O yang ada. Gb. 7. 1 memperlihatkan bahwa batas atas metamorfisme tumpang tindih dengan daerah suhu dan tekanan dimana magmatisme mulai. Bila terdapat sejumlah kecil H2O maka lelehan yang terjadi pun sedikit dan tetap terperangkap sebagai kantong (pocket) dalam batuan metamorf.


Sekelompok batuan gabungan, sedikit komponen batuan beku akibat lelehan dan batuan metamorf dinamakan magmatik. Bila terjadi sejumlah besar magma karena lelehan parsial basah, akan naik dan menerobos batuan metamorf di atasnya. Magma yang naik akan membeku sebagai batuan intrusi, umumnya membentuk batolit granit, berasosiasi dengan batuan metamorf. Asosiasi batuan ini terbentuk pada sepanjang jalur penunjaman atau tumbukan lempeng.

6.2.    Pengontrol Metamorfisme
Proses ini dapat dibayangkan sebagai orang memasak. Hasil masakannya sesuai dengan bahan yang dimasak dan cara memasaknya. Demikian pula dengan batuan, hasilnya tergantung dari komposisi batuan asal dan kondisi metamorfosis. Komposisi kimia batuan asal sangat mempengaruhi pembentukan himpunan mineral baru, demikian pula dengan suhu dan tekanan. Suhu dan tekanan tidaklah berperan-langsung, akan tetapi juga ada-tidaknya cairan serta lamanya mengalami panas dan tekanan yang tinggi, dan bagaimana tekanannya, searah, terpuntir dsb.

6.2.1.    Pengaruh Cairan terhadap Reaksi Kimia
Pori-pori pada batuan sedimen atau batuan beku terisi oleh cairan, yang merupakan larutan dari gas-gas, garam dan mineral yang terdapat pada batuan yang bersangkutan. Pada suhu tinggi cairan intergranular ini lebih bersifat uap dari pada cair, yang mempunyai peran penting dalam metamorfis¬me. Di bawah suhu dan tekanan yang tinggi terjadi pertukaran unsur dari larutan ke mineral-mineral dan sebaliknya. Fungsi cairan ini merupakan media transport dari larutan ke mineral dan sebaliknya, sehingga mempercepat metamorfisme. Dan jika tidak ada larutan atau sedikit sekali, maka metamorfisme berlangsung lambat, karena perpindahannya melalui difusi antar mineral yang padat.

6.2.2.    Suhu dan Tekanan
Batuan apabila dipanaskan akan membentuk mineral-mineral baru, yang hasil akhirnya adalah batuan metamorf. Sumber panasnya berasal dari panas dalam bumi. Batuan dapat terpanaskan oleh timbunan (burial) atau oleh terobosan batuan beku. Tetapi timbunan atau terobosan dapat menimbulkan perubaban tekanan sehingga sukar dikatakan bahwa metamorfisme hanya disebabkan oleh kenaikan suhu saja.
Tekanan dalam proses metamorfisme bersifat sebagai stress, mempunyai besaran serta arah. Tekstur batuan metamorf memperlihatkan bahwa batuan ini terbentuk dibawah differential stress, atau tidak sama besar dari segala arah. Berbeda dengan batuan beku yang terbentuk melalui lelehan dan dibawah pengaruh uniform stress, atau mempunyai besaran yang sama dari semua arah. Oleh karena itu batuan beku memperlihatkan orientsi mineral yang tidak beraturan.


Gambar 6.2    memperlihatkan perbedaan tekstur yang diakibatkan oleh perbedaan stress. Letak mineral biotit dalam granit tidak beraturan (A), sedangkan dalam batuan metamorf memperlihatkan kesejajaran yang tegak lurus arah stress terbesar.

6.2.3.    Waktu
Untuk mengetahui berapa lama berlangsungnya metamorfisme tidak mudah dan sampai saat ini masih belum diketahui bagaimana caranya. Dalam percobaan di laboratorium memperlihatkan bahwa di bawah tekanan dan suhu tinggi serta waktu reaksi yang lama menghasilkan kristal yang besar. Dan dalam kondisi sebaliknya, dihasilkan kristal yang kecil. Dengan demikian untuk sementara ini disimpulkan bahwa batuan berbutir kasar merupakan hasil metamorfisme dalam waktu yang panjang serta suhu dan tekanan tinggi. Sebaliknya yang berbutir halus, waktunya pendek serta suhu dan tekanan rendah.

6.2.4.    Pengaruh Perubahan Suhu dan Tekanan terhadap Metamorfisme
1.    Tekstur
Pada umumnya metamorfisme berlangsung di bawah differential stress dan hasilnya adalah tekstur yang sejajar. Apabila prosesnya terus berlangsung, mineral-mineral pipih misalnya mika dan khlorit mulai berkembang dan tumbuh berorientasi, yang lembaran-lembarannya berarah tegak lurus stress maksimum. Lembaran-lembaran mika baru yang sejajar ini membentuk tekstur planar yang disebut foliasi (foliation), berasal kata folium (bahasa Latin) yang berarti daun. Batuan yang berfoliasi cenderung mudah pecah sebagai lembar-lembar.
2.    Slaty Cleavage


Pada tahap awal metamorfisme derajat rendah, stress cenderung disebabkan oleh lapisan batuan di atasnya. Mineral-mineral baru yang bertekstur berlembar, foliasi, cenderung sejajar dengan bidang-bidang perlapisan dari batuan sedimen yang termetamorf. Pada penimbunan lebih dalam atau adanya kompresi dari tumbukan lempeng terjadi deformasi, lembaran-lembaran mineral yang semula datar terlipat, minenal pipih dan foliasi tidak lagi sejajar dengan bidang perlapisan (Gambar 7-3). Batuan metamorf derajat rendah umumnya mempunyai besar butir sangat halus, sehingga mineral-mineral pipihnya hanya dapat dilihat di bawah mikroskop. Dan foliasinya disebut slaty cleavage, yang dapat diartikan belahan-belahan tipis. Batuan metamorf derajat rendah cenderung untuk pecah-pecah menurut belahan-belahan ini.
3.    Schistositas
Pada metamorfisme derajat menengah dan derajat tinggi, besar butir mineral-mineralnya berkembang sehingga batuannya dapat dilihat tanpa alat. Foliasi batuan metamorf berbutir kasar disebut schistositas (schistosity) yang terbentuk akibat kesejajaran butir¬an mineral-mineral besar serta pipih dan tidak perlu planar. Dibedakan dengan slaty cleavage terutama dari besar butirannya. Batuan yang bertekstur schistose cenderung akan membelah menurut bidang yang bergelombang¬.
4.    Himpunan mineral
Metamorfisme menghasilkan himpunan mineral baru sebagaimana dengan tekstur. Dengan meningkatnya suhu dan tekanan tumbuhlah satu himpunan dan disusul yang lainnya. Suatu himpunan mineral merupakan karakteristik pada kisaran suhu dan tekanan tertentu. Beberapa mineral tidak dijumpai pada batuan beku atau sedimen, hanya terjadi atas pengaruh metamorfisme, diantaranya mineral¬ chlorite, serpentine, epidotic, talc dan tiga polymorf Al2SiO5, cyanic, silimanit, dan andalusit.

6.3.    Jenis Batuan Metamorf
Penamaan batuan metamorf dapat didasarkan pada tekstur dan juga himpunan mineralnya. Yang sering dan umum dipergunakan berdasarkan batuan asal¬nya dan yang umum dijuampai, lanau (shale), batupasir dan batugamping untuk batuan sedimen dan basalt untuk batuan beku.

6.3.1.    Dari Lanau dan Mudstone
1.    Serpih (slate)
Baik lanau maupun mudstone umumnya terdiri atas mineral kuarsa, berbagai mineral lempung, kalsit dan mungkin juga feldspar. Metamorfisme derajat rendah menjadikannya serpih atau slate. Pada kondisi ini muscovite dan chlorite mengkristal. Meskipun kenampakannya masih seperti lanau atau mudstone, tetapi mineral-mineral baru yang tumbuh pipih bentuknya, membuat batuan bertekstur slaty ¬cleavage. Adanya tekstur ini membuktikan bahwa batuan asalnya telah termetamorfosa.
2.    Filit (phyllite)
Peningkatan metamorfosa pada serpih ke derajat menengah, menghasilkan mineral mika berbutir lebih besar dan perubahan himpunan mineral serta membentuk foliasi. Batuannya disebut filit, berasal dari kata phyllon yang berarti daun.
Pada serpih butir mika yang tumbuh tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, tetapi pada filit cukup besar sehingga dapat dilihat.¬
3.    Sekis (schist) dan Gneiss
Apabila metamorfisme berlangsung terus maka terbentuklah batuan berbutir kasar yang dinamakan sekis. Serpih, filit dan sekis dapat dibedakan dari besar butirnya, namun besar butir bukanlah satu-satunya faktor pembeda. Ciri metamorfisme derajat tinggi pada sekis, mineral-mineral mulai segregasi (pengelompokan semacam mineral diantara yang lainnya) dan membentuk lajur-lajur. Batuan metamorf derajat tinggi berbutir kasar dan berfoliasi tetapi disertai lapisan-lapisan segregasi mineral-¬mineral, seperti kuarsa dan felspar, dan dinamakan gneiss. Oleh karena besar butirannya dapat dilihat maka kelompok batuan ini diberi nama dengan diawali nama mineral-mineral utamanya, misalnya kuarsa-plagioklas-biotit-garnet gneiss. Tidak demi¬kian halnya dengan sekis dan filit, berhubung mineralnya berbutir halus.

6.3.2.    Dari Basalt
1.    Sekis hijau (green schist)
Mineral utama dalam basalt adalah olivine, plagioklas dan piroksin. Kesemuanya bersifat anhidrous. Bila basalt mengalami metamorfisme dimana H2O dapat masuk dalam batuan, maka terbentuklah himpunan mineral-mineral yang hidrous. Pada derajat rendah, terbentuklah himpunan mineral seperti khlorit, plagioklas, epidotic dan kalsit. Kenampakannya seperti serpih (slate), akan tetapi berfoliasi seperti filit dan mempunyai warna yang khas (hijau), karena mengandung khlorit dan dinamakan skis hijau.
2.    Amfibolit dan granit (amphibolites and granite)
Apabila sekis hijau sampai pada metamorfosa derajat menengah, khlorit digantikan oleh amfibol dan umumnya berbutir kasar dan disebut amfibolit. Pada amfibolit terdapat juga foliasi, tetapi diabaikan karena pada umumnya tidak ada mineral-mineral mika dan khlorit Pada derajat lebih tinggi, amfibol digantikan piroksin, dan batuannya berfoliasi, dinamakan granulit.


6.4.    Klasifikasi Metamorfisme
Berdasarkan kenampakan hasil metamorfisme pada batuan, prosesnya dapat dikelompokkan menjadi deformasi mekanik (mechanical deformation) dan rekristalisasi kimia (chemical recrystalisation). Deformasi mekanik menghancurkan, menggerus dan membentuk foliasi. Rekristalisasi kimia merupakan proses perubahan komposisi mineral serta pembentukan mineral-mineral baru, dimana H2O dan CO2 terlepas akibat kenaikan suhu.

6.4.1.    Metamorfisme Kataktastik (Cataclastic Metamorphism)
Kadang-kadang deformasi mekanik pada meta¬morfisme dapat berlangsung tanpa disertai rekristalisasi kimia. Meskipun hal ini jarang terjadi namun apabila terjadi, sifatnya hanya setempat¬-setempat saja. Misalnya batuan berbutir kasar, granit, jika mengalami deferential stress yang kuat, butiran mineralnya hancur dan juga menjadi halus. Deformasi ini terjadi pada batuan yang bersifat regas (brittle) dan dinamakan metamorfisme kataktastik. Apabila metamorfisme berlanjut maka butiran dan fragmen batuan akan menjadi lonjong (elongated).

6.4.2.    Metamorfisme Kontak (Contact metamorphism)
Metamorfisme kontak terjadi akibat intrusi tubuh magma panas pada batuan yang dingin dalam kerak bumi. Akibat kenaikan suhu, maka rekristalisasi kimia memegang peran utama. Sedangkan deformasi mekanik sangat kecil, bahkan tidak ada, karena stress di sekitar magma relatif homogen. Batuan yang terkena intrusi mengalami pemanasan dan termetamorfosa, membentuk satu lapisan di sekitar terobosan yang dinamakan aureole metamorphic, batuan ubahan. Tebal lapisan batuan ubahan pada metamorfisme kontak tergantung pada besarnya tubuh intrusi dan kandungan H2O di dalam batuan yang diterobos. Misalnya pada korok atau sill lapisannya hanya beberapa meter, tetapi tanpa H2O hanya beberapa centimeter lebarnya. Batuan metamorf kontak yang terjadi, keras terdiri dari mineral berbutir seragam dan halus yang saling mengunci (interlocking), dinamakan Hornfels.
Pada terobosan besar, bergaris. tengah sampai ribuan meter mempunyai energi panas jauh lebih besar dari pada terobosan kecil, dan dapat mengandung banyak uap H2O. Aureole yang terbentuk dapat sampai ratusan meter lebarnya dan berbutir kasar. Di dalam aureole metamorf lebar ini yang telah dilalui cairan, terjadi zonasi himpunan mineral yang konsentris. Zona himpunan mineral ini mencirikan kisaran suhu tertentu. Dekat dengan terobosan, dimana suhu sangat tinggi, dijumpai mineral-mineral anhidrous, garnet dan piroksin. Kemudian dijumpai mineral-mineral hidrous seperti amfibol dan epidot Selanjutnya mineral-mineral mika dan khlorit (Gambar 6.4). Zonasi himpunan-himpunan mineral tersebut tentunya tergantung pada komposisi kimia batuan yang diterobos, cairan yang melaluinya serta suhu dan tekanan.

6.4.3.    Metamorfisme Timbunan (Burial  metamorphism)
Sedimen bersama perselingan piroklastik yang tertimbun sangat dalam di cekungan dapat mencapai suhu 3000 atau lebih. Adanya H2O yang terperangkap dalam porin-porin sedimen mempecepat proses rekristalisasi kimia dan membantu pembentukan mineral-mineral baru. Oleh karena sedimen yang mengandung air lebih bersifat cair dari pada padat, maka tegasan (stress) yang bekerja lebih bersifat homogen, bukan deferensial. Akibatnya pada, metamorfisme timbunan pengaruh deformasi mekanik kecil sekali sehingga teksturnya mirip dengan batuan asalnya, meskipun himpunan mineralnya sama sekali berbeda.
Ciri khas untuk metamorfisme ini adalah kelompok mineral zeolit, yang merupakan kelompok mineral berstruktur kristal polymer silikat. Komposisi kimianya sama dengan kelompok feldspar, yang juga mengandung H2O. Metamorfisme timbunan merupakan tahap pertama setelah digenesis, terjadi pada cekungan sedimen yang dalam, seperti palung-palung pada batas lempeng. Apabila suhu dan tekanan naik, maka metamorfisme timbunan meningkat menjadi metamorfisme regional.


6.4.4.    Metamorfisme Regional
Batuan metamorf yang umum dijumpai pada kerak benua dengan penyebaran yang sangat luas, sampai puluhan ribu kilometer persegi, dibentuk oleh proses metamorfisme regional. Pada metamorfisme ini melibatkan juga deformasi mekanik selain rekristalisasi kimia. Oleh karena itu batuannya memperlihatkan foliasi.
Batuan metamorf regional pada umumnya dijumpai pada deretan pegunungan atau yang sudah tererosi, berupa slate, filit, sekis dan gneiss. Deretan pegunungan dengan batuan metamorf regional terbentuk akibat subduksi atau tumbukan (collision) kerak benua. Pada saat tumbukan benua, batuan sedimen sepanjang batas lempeng mengalami deferensial stress yang intensif. Dan mengakibatkan foliasi yang khas pada slate, sekis, dan gneiss.
Sekis hijau dan amfibolit juga merupakan hasil metamorfisme regional, umumnya dijumpai dimana segmen kerak samudra purba yang berkomposisi basaltis bersatu dengan kerak benua dan kemudian termetamorfosa.


Gambar 7.5 menjelaskan bagaimana terjadinya metamorfisme regional. Saat satu segmen kerak mengalami stress kompresi horizontal, batuan dalam kerak terlipat dan melengkung (buckling). Akibatnya kerak akan menebal pada satu tempat, seperti diperlihatkan pada gambar 6.5. Dasar kerak yang menebal akan terdorong lebih ke dalam selubung. Akibatnya bagian dasar kerak tersebut mengalami peningkatan suhu dan tekanan, dan mineral-mineral baru mulai tumbuh. Aliran panas dari dasar ke atas sangat lambat karena batuan bukan penghantar panas yang baik. Pencapaian panas sangat bergantung pada kedalaman dan waktu batuan terbenam dalam timbunan yang menebal. Bila perlipatan dan penebalan berlangsung sangat lambat, pemanasan timbunan berangsur setelah bagian batas kerak dan mantel. Sedangkan jika penimbunan berlangsung sangat cepat, seperti halnya pada daerah subduksi, sedimen tertarik ke bawah, timbunan sedimen tidak sempat mengalami pemanasan, sehingga peran tekanan lebih besar dibandingkan dengan suhu. Berdasarkan kecepatan penimbunan, dari batuan yang sama, dapat terjadi dua batuan metamorf yang berbeda, karena perbedaan suhu dan tekanan yang mempengaruhinya.

6.4.5.    Zona Metamorfisme
Derajat metamorfisme dicirikan oleh himpunan mineral baru yang tumbuh pada kondisi tertentu (derajat rendah, menengah dan tinggi). Mineral-¬mineral tersebut dinamakan mineral indeks, umumnya adalah khlorit, biotit, garnet, staurolit, ¬kyanit, dan silimanit
Garis yang menghubungkan lokasi-lokasi di awal pemunculan mineral indeks dinamakan garis ¬isograde. Dan daerah di antara garis isograde dinamakan zona metamorfisme, misalnya zona¬ biotit dan sebagainya.

6.5.    Fasies Metamorfisme


Hasil pengamatan batuan metamorf di berbagai tempat di bumi memperlihatkan bahwa komposisi kimia batuan metamorf hanya sedikit terubah oleh proses metamorfisme. Perubahan utama yang terjadi adalah bertambah atau berkurangnya volatile, H2O dan CO2, tetapi bahan utamanya, SiO2, Al2O3 dan CaO tidak berubah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa himpunan mineral batuan metamorf dari batuan sedimen atau batuan beku ditentukan oleh suhu dan tekanan saat metamorfisme berlangsung. Berdasarkan kesimpulan ini, Pennti Eskola dari Finlandia (1915), mengusulkan konsep fasies metamorfisme, yang intinya menyatakan bahwa dan komposisi batuan tertentu, himpunan mineral yang mencapai keseimbangan selama metamorfisme di bawah kisaran kondisi fisik tertentu, termasuk dalam fasies metamorfisme yang sama.
Prinsip fasies metamorfisme, bersamaan dengan gradient geothermal dan kondisi geologi diperlihatkan dalam gambar 6.6.

6.6.    Metasomatisme
Proses metamorfisme berkaitan dengan komposisi tetap dan sejumlah cairan yang relatif sedikit. Sedikitnya cairan disebabkan volume pori-pori batuan yang termetamorf kecil, dan pelepasan H2O dan CO2 dan mineral-mineral yang termetamorf berlangsung lambat dibandingkan keluar dengan segera. Oleh karena itu hanya cukup untuk proses metamorf, dan tidak cukup untuk melarutkan dan mengubah komposisi batuan.
Pada kondisi tertentu perbandingan air dan batuan dapat besar, 10 : 1 bahkan sampai 100 : 1, misalnya mengalirnya cairan yang banyak melalui rekahan terbuka pada batuan. Batuannya dapat terubah (altered) secara drastis oleh penambahan ion-ion baru, melarutkan batuan atau kedua-duanya.
Proses dimana komposisi kimia batuan terubah oleh penambahan atau pelepasan (removal) ion-ion dinamakan metasomatisme (meta berarti berubah dan soma, dari bahasa Latin yang berarti juice). Biasanya metasomatisme berasosiasi dengan metamorfosa kontak, terutama dengan batugamping (Gambar 7.4). Cairan metasomatisme yang dilepaskan magma yang mendingin, menembus batuan yang termetamorf. Karena boleh jadi cairannya membawa bahan-bahan seperti silikat, besi, dan magnesium dalam larutan, komposisi batugamping yang dekat dengan magma yang mendingin dapat terubah dengan drastis, dan yang di luar jangkauan cairan tidak terubah. Tanpa adanya penambahan material, batugamping menjadi marmer, tetapi akibat metasomatisme berubah menjadi himpunan garnet, piroksin hijau, dinamakan diopsit dan kalsit.

6.7.    Larutan Hidrotermal dan Cebakan Mineral
Cairan yang menyebabkan metasomatisme kaya akan H2O dan bersuhu 25000C atau lebih dan dinamakan larutan hidrotermal (dari bahasa Yunani, hydro = air dan thermal = panas). Larutan hidrotermal membentuk urat-urat (vein's) dengan mengendapkan bahan yang terlarut seperti kuarsa atau kalsit dalam rekahan-rekahan yang dialirinya. Selain itu dapat juga menghasilkan ubahan pada batuan yang dialirinya. Larutan hidrotermal mempunyai peranan penting dalam pembentukan cebakan mineral berharga dengan membentuk urat-urat dan alterasi batuan. Cebakan mineral berharga hasil larutan hidrotermal lebih banyak dijumpai dari pada tipe lainnya.
Komposisi utama larutan hidrotermal adalah air. Dalam airnya selalu mengandung garam-garam, sodium khlorida, potasium khlorida, kalsium sulfat, dan kalsium khlorida. Kadar garam terlarut bervariasi, berkisar dari salinitas air laut, 3,5 persen berat sampai puluhan kalinya. Larutan yang sangat “asin” (brine) dapat melarutkan sedikit mineral¬-mineral yang tampaknya tidak larut, seperti emas, khalkopirit, galena dan sfalerit.
Larutan hidroterma1 terjadi dalam beberapa cara, salah satunya adalah saat magma yang terjadi oleh peleburan parsial basah yang mendingin dan mengkristal, air yang menyebabkan peleburan parsial basah dilepaskan. Namun tidak sebagai air murni, tapi mengandung semua unsur yang dapat larut dalam magma, seperti  NaCl, dan unsur-unsur kimia, emas, perak, tembaga, timbal, seng, merkuri dan molybdenum, yang tidak terikat kuarsa, feldspar, dan mineral lain dengan substitusi ion.
Suhu yang tinggi meningkatkan efektivitas larutan sangat asin ini untuk membentuk endapan mineral hidrotermal.
Volkanisme dan panas merupakan satu kesatuan. Oleh karena itu wajar bila banyak endapan mineral berasosiasi dengan batuan volkanik panas yang dimasuki air yang bersirkulasi di kedalaman, yang berasal dari air hujan atan air lauL Banyak sekali endapan mineral dijumpai pada bagian atas tumpukan volkanik, yang diendapkan saat larutan hidrotermal yang bergerak naik, mendingin dan mengendapkan mineral bijih.

6.8.    Tektonik Lempeng, Metamorfisme, Metasomatisme
Metamorfisme regional terjadi pada batas subduksi lempeng, seperti terlihat pada Gambar 6.7. Metamorfisme timbunan (burial metamorphism) terjadi pada bagian bawah tumpukan tebal sedimen yang terakumulasi pada paparan benua (continental shelf) dan lereng benua (continental slope).
Suhu dan tekanan karakteristik untuk fasies metamorfosis sekis biru dan eklogit tercapai saat batuan kerak tertarik ke bawah dengan cepat oleh lempeng yang menunjam. Pada kondisi demikian tekanan naik lebih cepat dibandingkan dengan suhu dan hasilnya adalah batuan metamorf tekanan tinggi - suhu rendah, fasies metamorf sekis biru dan eklogit. Kondisi karakteristik fasies metamorf sekis hijau dan amfibolit terdapat dimana kerak menebal akibat tumbukan benua atau pemanasan oleh magma yang naik. Tumbukan benua umumnya merupakan penyebab metamorfisme regional dan aktivitas magma¬.



Magma yang menghasilkan gunungapi strato terjadi oleh peleburan parsial basah kerak samudra yang menunjam. Magma juga merupakan sumber panas untuk larutan hidrotermal yang menghasilkan endapan bijih. Adanya sumber daya mineral di bumi adalah berkat kombinasi proses-proses magmatik, metamorfisme, dan metasomatik, yang semuanya terjadi akibat tektonik lempeng.

BATUAN SEDIMEN


BATUAN SEDIMEN

Material hasil rombakan batuan di atas permukaan bumi akibat proses-proses eksogen, pelapukan dan erosi, merupakan material atau bahan yang sifatnya urai. Terdiri dari fragmen batuan, mineral dan berbagai material lainnya yang berasal dari atas permukaan bumi.
Material urai ini tertransport oleh air, angin dan gaya gravitasi ke tempat yang lebih rendah, cekungan, dan diendapkan sebagai endapan atau sedimen di bawah permukaan air. Sedimen yang terakumulasi tersebut mengalami proses litifikasi atau proses pembentukan batuan. Proses yang berlangsung adalah kompaksi dan sementasi, mengubah sedimen menjadi batuan sedimen. Setelah menjadi batuan sifatnya berubah menjadi keras dan kompak.

Proses kompaksi pada umumnya akibat beban sedimen yang ada di atasnya, menyebabkan hubungan antar butir menjadi lebih lekat dan juga air yang dikandung dalam pori-pori terperas keluar. Sementasi adalah proses dimana butiran-butiran sedimen direkat oleh material lain yang terbentuk kemudian, dapat berasal dari air tanah atau pelarutan mineral-mineral dalam sedimen itu sendiri. Material semennya dapat merupakan karbonat, silika atau oksida (besi).
Material sedimen dapat berupa:
1.    Fragmen dari batuan lain dan mineral-mineral, seperti kerikil di sungai, pasir di pantai dan lumpur di laut.
2.    Hasil penguapan dan proses kimia, garam di danau payau dan kalsium karbonat di laut dangkal.
3.    Material organik, seperti terumbu koral di laut, vegetasi di rawa-rawa.
Dibandingkan batuan beku dan metamorf, batuan sedimen paling banyak tersingkap di atas permukaan bumi sebesar 75 % luas daratan.

5.1.    Klasifikasi Batuan Sedimen
Oleh karena keragaman pembentukan (genesa), tekstur, komposisi dan penampilan batuan sedimen, maka dasar klasifikasinya pun ada bermacam-¬macam. Pengelompokan batuan sedimen yang ideal berdasarkan ukuran butir, bentuk dan komposisi material pembentuknya. Pengelompokan yang sederhana dalam batuan sedimen adalah dua kelompok besar:
1.    Batuan sedimen klastik, terbentuk dari fragmen-¬fragmen batuan lain.
2.    Batuan sedimen non-klastik, atau kimiawi dan organik terbentuk oleh proses kimia atau proses biologi.

5.1.1.    Batuan Sedimen Klastik
Batuan sedimen klastik atau disebut juga batuan sedimen detritus, dikelompokkan berdasarkan ukuran butir komponen materialnya. Untuk itu diperlukan satu acuan besar butir, dan telah dibuat oleh Wentworth, dikenal sebagai skala Wentworth:

NO    NAMA        UKURAN
1    Boulder    bongkah     255 mm
2    Cobble        64 - 2,56 mm
3    Pebble    kerakal    4 - 64 mm
4    Granule    kerikil    2 - 4 mm
5    Sand    Pasir    1/16 - 2 mm
6    Silt    lempung    1/256 - 1/16 mm
7    Clay         1/256 mm

Boulder dan Cobble dapat sebagai bongkah, pebble sama dengan kerakal, granule seukuran dengan kerikil, sand sama dengan pasir, sedangkan silt dan day adalah lempung.
Batuan  sedimen klastik terdiri dari butiran-butiran. Butiran yang besar disebut fragmen dan diikat oleh massa butiran-butiran yang lebih halus, matriks. Batuan sedimen klastik yang dikelompokkan berdasarkan besar butir materialnya, sebagai konglomerat, batu-pasir, serpih dan batu lempung.
Konglomerat mempunyai fragmen berukuran bongkah yang bentuknya membulat. Apabila fragmennya menyudut (tidak membulat) dinamakan breksi (Gb. 5.1 A dan B). Konglomerat atau breksi yang fragmennya terdiri berbagai macam dinamakan konglomerat atau breksi polimik. Sedangkan yang terdiri dari hanya satu macam dinamakan monomik.

Batupasir terdiri dari material yang berukuran pasir (1/16 sampai 2 mm). Serpih, mempunyai besar butir lebih kecil dari pasir (1/16 sampai 1/256 mm). Batu-lempung berbutir sangat halus lebih kecil dari 1/16 mm. Pada umumnya untuk menelitinya tidak dapat dipergunakan mikroskop biasa, tetapi dengan mikroskop elektron yang mempunyai daya perbesaran sangat tinggi.


5.1.2.    Batuan Sedimen Non-Klastik
Batuan sedimen non-klastik yang banyak dijumpai adalah batugamping atau limestone. Terdiri terutama dari mineral kalsium karbonat, CaCO3 yang terjadi akibat proses kimia dan atau organik. ¬Kalsium karbonat diambil o1eh organisme dari air dimana ia hidup untuk membuat cangkangnya atau bagian yang keras. Setelah organismenya mati, tertinggal cangkangnya atau bagian yang kerasnya dan terkumpul di dasar laut. Lama kelamaan membentuk endapan batugamping yang terdiri dari cangkang dan pecahan-pecahannya. Tebalnya sampai! ratusan meter dan beberapa kilometer persegi luasnya. Dalam air yang tenang, terendapkan kalsium karbonat dengan kristal-kristal berbentuk jarum, beralaskan lumpur karbonat. Endapan ini setelah mengalami kompaksi mengkristal kembali menjadi batugamping mikro kristalin, dengan kristal-kristal sangat halus, yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop dengan perbesaran sangat tinggi.

Selain batugamping, dijumpai juga endapan garam dan gypsum, keduanya merupakan hasil penguapan. Garam terdiri dari mineral halit, komposisinya NaCl dan gypsum berkomposisi CaSO4.2H2O. Keduanya terdapat sebagai lapisan-¬lapisan pada tempat yang terbatas.

5.2.    Hukum Pengendapan
Pada saat sedimen diendapkan mengikuti hukum alam, misalnya material yang berat, akan terendapkan lebih dahulu dibandingkan yang lebih ringan¬. Kecepatan pengendapan material sedimen bergantung pada besar butirnya, menurut hukum Stoke, v = C.r2 cm/s dimana v adalah kecepatan pengendapan, C suatu konstanta dan r garis tengah butiran.

Pada pertengahan abad    17, Nicolaus Steno memperhatikan bahwa sedimen terkumpul oleh proses pengendapan melalui suatu  medium air atau angin. Endapan ini membentuk lapisan-lapisan mendatar atau horisontal yang tertua berada di bawah dan yang termuda ada di atas. Berdasarkan pengamatan ini, pada tahun 1969 ia mencetuskan tiga prinsip dasar yang lebih dikenal dengan Hukum Steno:

    Hukum superposisi, menyatakan bahwa dalam urutan batuan yang belum mengalami perubahan (dalam keadaan normal), batuan yang tua ada di bawah dan yang muda berada di atas.

    Hukum horisontalitas, pada awalnya sedimen diendapkan sebagai lapisan-lapisan mendatar. Apabila dijumpai lapisan yang miring, sudah mengalami deformasi, terlipat atau tersesarkan.

    Hukum kemenerusan lateral (lateral continuity), menyatakan bahwa pengendapan lapisan batuan sedimen menyebar secara mendatar, sampai menipis atau menghilang pada batas cekungan dimana ia diendapkan.

Ketiga prinsip dasar ini sangat membantu dalam mempelajari atau menentukan urutan umur lapisan-lapisan batuan sedimen¬.

5.3.    Struktur Batuan Sedimen


Kebanyakan sedimen ditransport oleh arus yang akhirnya diendapkan, sehingga ciri utama batuan sedimen adalah berlapis. Batas antara satu lapisan dengan lapisan lainnya disebut bidang perlapisan. Bidang perlapisan dapat terjadi akibat adanya perbedaan: warna, besar butir, dan atau jenis batuan antara dua lapisan. ¬Struktur sedimen lain yang umum dijumpai pada batuan sedimen adalah lapisan bersusun atau graded bedding dan lapisan silang-siur atau cross bedding, gelembur gelombang (ripple mark) dan rekah kerut (mud cracks), gambar 5.2.

Terjadinya struktur-struktur sedimen tersebut disebabkan oleh mekanisme pengendapan dan kondisi serta lingkungan pengendapan tertentu. Dengan mempelajari struktur sedimen yang dijumpai saat ini, dapat diketahui mekanisme dan lingkungan pengendapan pada masa lampau saat sedimen diendapkan.

5.4.    Fossil dan Waktu

Di dalam sedimen, umumnya turut terendapkan sisa-sisa organisme atau tumbuhan, yang karena tertimbun, terawetkan. Dan selama proses diagenesis tidak rusak dan turut menjadi bagian dari batuan sedimen atau membentuk lapisan batuan sedimen, misalnya batugamping coquina.¬
Sisa-sisa organisme atau tumbuhan yang terawetkan ini dinamakan fossil. Jadi fossil adalah bukti atau sisa-sisa kehidupan zaman lampau. Dapat berupa sisa organisme atau tumbuhan, seperti cangkang kerang, tulang atau gigi maupun jejak atau cetakannya. Contohnya jegak atau lubang-lubang (burrows) bekas kehidupan organisma dan cetakan daun atau tulang ikan dalam serpih. Proses pembentukan fossil disebut proses fossilisasi.

Proses fossilisasi dapat terjadi oleh:

o    proses penggantian (replacement), bagian yang ¬keras organisme diganti oleh berbagai mineral, misalnya cangkang binatang laut yang semula dari kalsium karbonat diganti oleh silika.

o    proses petrifaction, bagian lunak batang tumbuhan diganti oleh presipitasi mineral yang terlarut dalam air-sedimen.

o    proses karbonisasi, daun atau material tumbuhan yang jatuh dalam lumpur di rawa, terhindar dari oksidasi. Dan pada saat diagenesis, material itu diubah menjadi cetakan karbon dengan mengubah bentuk asalnya.

o    proses pencetakan, pada saat diagenesis, sisa binatang atau tumbuhan terlarut, sehingga terjadilah rongga, seperti cetakan (mold) yang bentuk dan besarnya sesuai atau sama dengan benda aslinya. Apabila. rongga ini terisi oleh mineralisasi maka  terbentuklah hasil cetakan (cast) binatang atau tumbuhan tersebut.

Penemuan pengetahuan mengenai fossil, sangat berarti bagi penunjuk waktu (time indicator) dalam geologi.

Orang yang mula-mula memperhatikan kehadiran fossil dalam batuan adalah William Smith, seorang teknik sipil. la, menjumpai fossil pada lapisan-¬lapisan dalam paritan-paritan yang dibuat pada proyeknya. Dia kumpulkan fossil-fossil yang dijumpainya. Berdasarkan kesamaan fossil yang dikandung lapisan pada paritan-paritan, dia menyimpulkan bahwa setiap lapisan yang mengandung fossil yang sama merupakan satu lapisan yang menerus. Sejak penemuannya ini, maka berkembang ilmu yang mempelajari fossil, paleontologi. Kemudian diketahui bahwa jasad sebelum memfossil, hidup pada masa tertentu, sehingga fossil tersebut merupakan penunjuk atau fossil indeks (index fossil).

Untuk mengidentifikasi lapisan-lapisan batuan di berbagai tempat, apakah terbentuk pada masa yang sama, atau disebut korelasi, dipergunakan fossil indeks, Gambar 5.3. Apabila tidak dijumpai satu fossil indeks, maka dipergunakan kesamaan himpunan fossil yang terkandung dalam lapisan-lapisan batuan.

Fossil, selain untuk menentukan umur lapisan batuan, juga dapat dipergunakan untuk menentukan lingkungan pengendapannya.



5.5.    Fasies dan Lingkungan Pengendapan
Bila dalam satu lapisan batuan dijumpai perubahan sifat fisik secara lateral, baik litologi, besar butir, warna atau sifat lainnya, maka dikatakan pada lapisan batuan tersebut terdapat perubahan fasies. Artinya, terjadi perubahan kondisi pada saat pengendapan.

Jadi secara umum fasies sedimentasi dapat diartikan sebagai kenampakan atau sifat fisik umum satu bagian sebuah tubuh batuan yang berbeda dari bagian lainnya.

Dengan mempelajari perbedaan karakteristik pada lapisan-lapisan batuan serta fasiesnya, dapat diketahui mekanisme, kondisi dan tempat pengen¬dapan sedimen sebelum menjadi batuan. Yang dinamakan lingkungan pengendapan.

Dari studi lingkungan pengendapan dapat digambarkan atau direkonstruksi geografi purba dimana pengendapan terjadi. Secara umum dikenal 3 lingkungan pengendapan: lingkungan darat, transisi dan laut.

Beberapa contoh lingkungan darat misalnya endapan sungai dan endapan danau, ditransport oleh air, juga dikenal endapan gurun dan gletsyer, media transportasinya adalah angin dan gletsyer. Endapan yang ditransport angin, dinamakan endapan eolian.

Endapan transisi merupakan endapan yang terdapat di daerah antara darat dan laut, delta, lagoon dan litoral.

Sedangkan yang termasuk dalam endapan laut adalah endapan-endapan neritik, batial dan abisal. Penampang dalam gambar 5.4 memperlihatkan pembagian lingkungan pengendapan.


5.6.    Pengendapan dan Tektonik Lempeng
Energi yang memungkinkan berlangsungnya proses pengendapan adalah panas dari dalam bumi dan matahari. Energi dari dalam menyebabkan bergeraknya litosfir, termasuk pengangkatan. Sedimen hasil pelapukan dan erosi batuan di daerah yang terangkat ditransport ke daerah yang lebih rendah akibat tertarik gaya gravitasi. Media transportnya: angin, anus air, gelombang laut dan gletsyer merupakan bagian dari sirkulasi air, yang penggeraknya tidak lain adalah energi matahari.
Pada beberapa tempat di bumi dijumpai pegunung¬an yang sangat tinggi, ribuan meter, terdiri dari batuan sedimen. Penelitian lebih lanjut membuktikan bahwa sedimen tersebut diendapkan pada laut dangkal dan terdeformasi kuat. Salah satunya adalah pegunungan Himalaya. Kenyataan ini membuat orang berpikir, bagaimana dalam cekungan dangkal, 100 - 200 m, dapat terakumulasi endapan setebal ribuan meter.

Mula-mula dijelaskan sebagai akibat beban sedimen cekungannya menurun dan pengendapan terus berlanjut. Luas permukaan cekungannya tetap, tetapi kedalamannya terus bertambah, sehingga sedimen di dalamnya tertekan dan terdeformasi, terlipat-lipat dan patah-patah. Kemudian terangkat dan berada di atas permukaan. Namun tektonik lempeng menjelaskannya dengan bergeraknya lempeng dan pengangkatan. Kecepatan pengendapan erat kaitannya dengan pengangkatan pada daerah tektonik aktif.

Umumnya pada daerah tektonik aktif kecepatan ¬pengangkatan lebih besar dibandingkan kecepatan erosi, sehingga terbentuk morfologi tinggi. Mount Everest puncaknya terdiri dari sedimen laut dangkal yang diendapkan 100 juta tahun yang lalu, ternyata telah terangkat 9 km. Demikian juga umumnya dengan rangkaian pegunungan lainnya. Jadi sedimen diendapkan di laut, diubah menjadi batuan, menempel pada benua dan terangkat sampai tinggi, oleh gaya tektonik.
Ada beberapa endapan sangat tebal yang berkaitan dengan kerangka tektonik yang spesifik, misalnya dimana benua terpisah pada pusat pemekaran, perlahan-lahan terakumulasi sedimen tebal sepan¬jang tepi benua sebagai endapan yang terbawa arus, mengisi cekungan laut yang berkembang, seperti yang terjadi di Atlantik, Amerika Utara. Di bawah paparan benua dijumpai tumpukan tebal batuan sedimen laut dangkal (Gb. 5.5A). Hal ini dapat terjadi karena pada saat akumulasi, cekungannya perlahan-lahan menurun.

Pada zona tumbukan (collision) benua (Gb. 5-5B) dijumpai akumulasi sedimen kasar yang tebal hasil rombakan pegunungan yang terangkat. Diendapkan sebagai endapan aliran sungai berupa konglomerat dan batupasir kasar, seperti yang dijumpai pada bagian Selatan pegunungan Himalaya. Sedimen halusnya terendapkan di laut, di teluk Benggala, sejak pengangkatan mulai.
Sepanjang zona penunjaman aktif dekat batas benua seperti di Barat Amerika Selatan, sedimen terseret ke palung yang dalam dan terakumulasi menjadi endapan yang sangat tebal (Gb. 5.5C). Oleh karena pada umumnya jalur tektonik semacam ini disertai aktivitas gunungapi, maka akumulasi sedimen tersebut mengandung sangat banyak material gunungapi. Akibat lempeng bergerak perlahan-lahan, sedimen tertekan dan menempel ke benua dan menjadi bagian dari benua. Demikian, terjadilah siklus sedimen, dari benua ke laut dan kembali ke benua, mengalami pengangkatan dan prosesnya mulai lagi.


BATUAN BEKU


BATUAN BEKU

Magma dapat membeku di bawah atau di atas permukaan bumi. Bila membeku di bawah permukaan terbentuklah batuan beku dalam atau batuan beku intrusif. Sering juga dikatakan sebagai batuan beku plutonik. Sedangkan bila magma mencapai permukaan bumi dan membeku, terbentuklah batuan beku luar atau batuan beku ekstrusif.

4.1.    Batuan Beku Dalam
Magma yang. membeku di bawah permukaan, pendinginannya sangat lambat (dapat sampai jutaan tahun), memungkinkan tumbuhnya kristal-kristal yang besar dan sempurna, menjadi tubuh batuan beku intrusif. Tubuh batuan beku dalam mempunyai bentuk dan ukuran yang beragam, karena magma dapat menguak batuan di sekitarnya, atau menerobos melalui rekahan. Pada gambar 5.1 terlihat diagram penampang tubuh-tubuh batuan plutonik. Bentuk¬-bentuk yang memotong struktur batuan sekitarnya  (diskordan) adalah batolit, stock, dyke (korok) dan jenjang volkanik (volcanic neck). Sedangkan bentuk yang sejajar dengan struktur batuan sekitarnya (konkordan) adalah sill, lakolit dan lopolit.
Akibat proses geologi, baik gaya endogen maupun gaya eksogen, lapisan batuan penutupnya tererosi, batuan beku dalam meskipun terbentuk jauh di bawah permukaan bumi, dapat tersingkap di permukaan bumi.

4.2.    Batuan Beku Luar
Magma yang mencapai permukaan bumi me1alui rekahan atau lubang kepundan gunungapi, sebagai erupsi, mendingin dengan cepat dan membeku menjadi batuan beku luar. Keluarnya magma di permukaan bumi melalui rekahan dinamakan erupsi linier atau fissure eruption. Pada umumnya magma basaltik yang viskositasnya rendah, sehingga dapat mengalir di sekitar rekahan, menjadi hamparan lava basalt atau plateau basalt. Sedangkan yang keluar melalui lubang kepundan dinamakan erupsi sentral. Magma dapat mengalir melalui lereng, sebagai aliran lava atau tersembur ke atas bersama gas-gas sebagai piroklastik, atau rempah gunungapi.
Lava terdapat dalam berbagai bentuk dan jenis, ¬tergantung pada komposisi magmanya dan tempat atau lingkungan dimana pembekuannya terjadi. Apabila membeku di bawah permukaan air terbentuklah lava bantal (pillow lava), sesuai dengan namanya, bentuknya mirip dengan bantal.


4.3.    Tekstur (texture)
Secara umum batuan beku intrusif dan ekstrusif atau batuan beku umumnya dapat dibedakan dari kenampakan bentuk, ukuran dan hubungan kristal mineral-mineralnya atau disebut tekstur mineral.
Beberapa tekstur batuan beku yang umum adalah:

1.    Gelas (glassy)    -    tidak berbutir atau tidak mempunyai kristal (amorf);

2.    Afanitik (aphanitic)     -    (fine grain texture) berbutir sangat halus, hanya dapat dilihat dengan    mikroskop;

3.    Faneritik (phanerific)    -    (coarse grain texture) berbutir cukup besar, dapat dilihat tanpa mikroskop;

4.    Porfiritik (porphyritic)     -    mempunyai dua ukuran kristal yang dominan;

5.    Piroklastik (pyroclastic)    -    mempunyai fragmen material volkanik.

Tekstur gelas terjadi akibat magma membeku dengan cepat, akibatnya tidak sempat mengkristal atau amorf, seperti obsidian. Afanitik (dari bahasa Yunani phaneros yang berarti terlihat, dan a berarti tidak) dapat diartikan tidak terlihat. Batuan beku dengan tekstur ini memperlihatkan pembekuan yang cepat, terdiri dari mineral-mineral dengan kristal yang sangat keci1. Di bawah mikroskop dapat dikenali feldspar dan kuarsa. Misalnya bagian dalam aliran lava.

Faneritik berarti dapat dilihat. Batuan dengan tekstur ini memperlihatkan besar kristal yang hampir seragam dan saling mengunci (interlock). Bentuk kristal yang besar-besar ini menyatakan bahwa pembekuannya berlangsung sangat lama, yang berarti terjadi jauh di bawah permukaan bumi.

Porfiritik beberapa batuan beku memperlihatkan dua ukuran kristal yang berbeda. Kristal yang besar, bentuknya sempurna dinamakan fenokris (phenocrysts), sedangkan yang kecil-kecil disebut matriks atau massa dasar (groundmass). Tekstur semacam ini dinamakan tekstur porfiritik.

Piroklastik, dalam bahasa Yunani pyro artinya api dan klastos adalah pecah. Tekstur batuan dikatakan piroklastik apabila pada batuan tersebut terdapat butiran fenokris dan massa dasar, mirip dengan porfiritik. Namun di bawah mikroskop terlihat bahwa butiran-butirannya lebih banyak pecah-pecah dari pada kristal saling mengunci. Selain itu juga fragmennya bengkok, terpilin dan terdeformasi. Tekstur ini terjadi akibat erupsi ledakan, dihembuskan material berukuran debu ke atas. Di udara terbentuk mineral dan gelas, bercampur sebagai material yang panas. Bila diendapkan masih panas, maka material-material ini saling merekat seperti di las satu dengan lainnya.

   
4.4.    Klasifikasi Batuan Beku
Batuan beku sangat banyak jenisnya, pengelompokan atau klasifikasi sederhana didasarkan atas tekstur dan komposisi mineralnya. Keragaman tekstur batuan beku diakibatkan oleh sejarah pendinginan magma, sedangkan komposisi mineral bergantung pada unsur kimia magma dan lingkungan kristalisasinya. Klasifikasi sederhana batuan beku yang umum adalah seperti pada tabel
4.1.

    Felsik
(Granitik)    Intermediet
(Andesitik)    Mafik
(Basaltik)    Ultramafik
Intrusif (faneritik)    Granit    Diorit    Gabro    Peridotit
Ekstrusif (afanitik)    Ryolit    Andesit    Basalt    -
Komposisi mineral utama    Kuarsa
K-feldspar
Na-Feldspar    Hornblende
Na-Feldspar
Ca-Feldspar    Ca-Feldspar
Piroksen    Olivin
Piroksen
Mineral tambahan    Muskovit
Biotit
Hornblende    Biotit
Piroksen    Olivin
Hornblende    Ca-Feldspar
Kadar SiO2 makin kecil dan warna batuan makin gelap ke arah kanan 
Batuan pada bagian kanan tabel, kaya akan mineral-mineral yang mengkristal paling dulu, mengandung lebih banyak unsur Mg dan Fe, karena itu dinamakan mineral mafik (Mg dan Fe). Kandungan SiO2-nya sangat kecil, sehingga memberikan warna lebih gelap dibandingkan dengan batuan pada bagian kiri tabel. Sedangkan batuan pada bagian kiri lebih banyak mineral-mineral feldspar dan mika (kuarsa), dan dinamakan batuan felsik, berwarna lebih terang dan pada batuan bagian kanan. Pada tabel 4.2 diperlihatkan dalam bentuk diagram.



4.4.1.    Batuan Faneritik/Intrusif
Sering pula dikatakan berbutir kasar dan yang umum dijumpai adalah:
Granit berkomposisi terutama dari feldspar dan kuarsa. K-feldspar merupakan mineral utamanya, berwarna merah muda, sedangkan Na-Ca plagioklas terdapat dalam jumlah sedang, berwarna putih seperti porselein. Mika berwarna hitam atau serpihan berwarna bronz, tersebar merata dalam batuan.
Berat jenis granit relatif kecil (2,7) dibandingkan dengan basalt (3,2). Granit dan batuan lain yang setara membentuk kerak benua, sedangkan basalt kerak samudera. Kadar SiO2 makin kecil dan warna makin gelap.
Diorit mempunyai tekstur mirip granit tetapi komposisinya tidak sama. Mineral utamanya adalah Na-plagioklas feldspar, sedangkan kuarsa dan K-feldspar merupakan mineral minor. Amfibol di dalamnya mencirikan diorite. Dan bukanlah tidak mungkin dijumpai piroksen. Komposisi diorit merupakan komposisi menengah antara granit dan basalt.
Gabro, teksturnya berbutir kasar, mirip dengan granit, tetapi komposisi utamanya adalah piroksen dan Ca-plagioklas. Olivin terdapat sebagai mineral minor. Warna gabro hijau tua, abu-abu tua atau hitam. Gabro merupakan material utama bagian bawah kerak samudera, dan juga pada beberapa bagian kerak benua tua.
Peridotit hampir seluruhnya terdiri dari mineral olivin dan piroksen, sangat jarang dijumpai di atas permukaan bumi. Dan berat jenisnya yang besar dan sifat fisik lainnya dapat diperkirakan bahwa selubung bumi (mantle) terdiri dari peridotit.

4.4.2.    Batuan Afanitik/Ekstrusif
Basalt adalah batuan yang khas bertekstur afanitik, berbutir sangat halus. Biasanya berwarna gelap, terjadi dari pendinginan bagian dalam aliran lava. ¬Komposisi utamanya Ca-plagioklas dan piroksen, sedangkan olivin dan amfibol hanya sedikit. Plagioklas terdapat sebagai kristal-kristal memanjang mengelingi olivin dan piroksen yang sama besarnya. Ada juga basalt yang mempunyai kristal olivin atau piroksen yang besar-besar sebagai fenokrist, sehingga menjadikannya bertekstur porfiritik. Pada umumnya basalt mengandung gelas sedikit, terutama di dekat bagian atas aliran lava.¬
Andesit terdiri dari Na-plagioklas, piroksen dan amfibol. Umumnya mengandung kuarsa sedikit atau sama sekali tidak, mirip dengan diorit dan porfiritik dengan feldspar dan mineral-mineral ferro dan magnesium sebagai fenokrist. Andesit merupakan tipe lava yang banyak dijumpai setelah basalt dan sering terdapat sepanjang batas benua atau di bagian dalam benua.
Ryolit berkomposisi sama dengan granit, biasanya mengandung fenokrist feldspar, kuarsa atau mika, tetapi belum dapat disebut porfiritik. Ryolit dan andesit sukar dibedakan tanpa mikroskop, dan disatukan dalam kelompok felsite (kelompok batuan bertekstur afanitik dan berwarna terang).

4.5.    Struktur Batuan Beku
Meskipun batuan beku terbentuk dari pembekuan magma, namun beberapa batuan beku memper¬lihatkan adanya struktur, seperti blok lava, ropy lava, lava bantal (pillow lava), struktur aliran dan struktur rekahan, serta vesikular dan amigdaloidal. Blok lava, di Hawaii dikatakan lava aa, adalah aliran lava yang permukaannya sangat kasar, merupakan bongkahan-bongkahan.
Lava ropy, dikatakan lava Pahoehoe di Hawaii, merupakan aliran lava yang permukaannya halus dan berbentuk seperti pilinan tali. Bagian depannya membulat, bergaris tengah sampai beberapa meter.
Lava bantal, sesuai dengan namanya, aliran lava ini berbentuk menyerupai bantal yang tumpang tindih. Sering dijumpai bersamaan dengan batuan sedimen marin, sehingga disimpulkan terbentuk di bawah permukaan air.
Struktur aliran, terlihat sebagai kesejajaran bentuk lensa-lensa kecil garis-garis dan goresan-goresan, yang diakibatkan oleh karena lava tidak homogen. Struktur rekahan, merupakan rekahan-rekahan yang arahnya tegak lurus bidang pendinginan, dan permukaannya segi enam berbentuk prisma, dinamakan kerak kolom.
Struktur vesikular terjadi akibat keluanya gas-gas yang terlarut dalam magma karena penurunan tekanan di sekitarnya, atau setelah mencapai permukaan bumi. Struktur ini terlihat sebagai serat-serat dalam lava.
Sedangkan struktur amigdaloid terjadi apabila rongga-rongga pelepasan gas terisi oleh mineral sekunder, kalsit misalnya.